Minggu, 12 Januari 2014

Ruang Lingkup Pragmatik


PRAGMATIK
Istilah pragmatik pertama kali muncul ketika seorang filosof Charles Morris (1938) mencoba mengolah kembali pemikiran para filosof pendahulunya (Locke dan Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics). Dikatakan oleh Morris (melalui Nadar, 2009:2) bahwa semiotik memiliki tiga cabang kajian, yaitu sintaksis (syntax), semantik (semantics), dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacunya, sedangkan pragmatik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa.
Berdasarkan trikotomi di atas, didapatkan pengertian pragmatik sebagai berikut:
a)      Pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasikan atau terkodifikasikan dalam struktur bahasa (“Pragmatics is study of those relation between laanguage and context that grammaticalized, or encoded in the structure of language”). (Levinson, melalui Nadar, 2009:4)
b)       Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan secara langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang dituturkan. (“Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning of utterances which cannot be accounted for by straightforward reference ti the truth conditions of the sentences uttered”). (searle, Kiefer & Bierwich, melalui Nadar, 2009:5)
c)       Pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana. (“Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presuposisi speech act and aspects of discourse structure). (Gazdar, melalui Nadar, 2009:5)
d)     Pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. (Wijana,1996:2)
Dari beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian pragmatik adalah bahasa kaitannya dengan konteks.
Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya. Konsep-konsep dalam pragmatik di antaranya yaitu konteks. Konteks merupakan sesuatu yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud tuturan dalam wacana. Dalam konteks terdapat topik yang mendasari sebuah wacana. Dalam pragmatik terdapat beberapa analiasis di antaranya adalah analisis tujuan cara yaitu analisis yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah. Terdapat pula analisis heuristik yaitu analisis yang mengidentifikasi data pragmatik sebuah tuturan untuk menginterpretasikan sebuah tuturan.
Dalam pragmatilk terdapat struktur wacana atau urutan komponen wacana yang bermula dari yang paling kompleks ke yang kurang kompleks karena variasi susunan unsur-unsur struktur wacana lebih besar dari pada struktur kalimat. Dalam penerapan pragmatik terdapat presuposisi atau praanggapan. Praanggapan adalah  dasar yang digunakan penutur sebagai acuan bagi penutur yang lain dan mengacu kepada makna tersirat yang ”mendahului“ makna kalimat yang terucapkan (tertulis). Contohnya terdapat kalimat “Bukunya hilang”. Makna lain yang bisa ditangkap, yaitu ‘dia mempunyai buku.’ Inilah yang disebut praanggapan. Untuk membuktikannya, kita dapat menggabungkan keduanya dengan menempatkan praanggapan di depan ujaran tadi menjadi: “Dia mempunyai buku, bukunya hilang”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan telaah penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan. Keterlibatan konteks dalam interpretasi makna inilah yang membedakan semantik dengan pragmatik. Semantik mengkaji makna bebas konteks, sedangkan pragmatik terikat konteks.

Ruang Lingkup Pragmatik
Ruang Lingkup pragmatik sebagai bidang tersendiri dalam ilmu bahasa adalah deiksis, implikatur percakapan, praanggapan, dan tindak ujaran. Pokok kajian pragmatik tersebut akan diulas di bawah ini :
a)      Deiksis
Deiksis adalah gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata lain adalah bahwa kata  Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal. Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula, kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan. Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang jelas dan tetap.
Contoh, ketika seorang siswa yang mendapati tulisan di sebuah bus jurusan Unesa, yang bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah warung makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang bertuliskan Hari ini bayar, besok boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir mikrolet di hadapan para penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para pengunjung warung makannya.
Deiksis dapat di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time), tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social) (Levinson, dalam Nadar, 2009:53).
b)      Implikatur Percakapan
Implikatur percakapan merupakan salah satu ide yang sangat penting dalam pragmatik. Implikatur percakapan pada dasarnya merupakan suatu teori yang sifatnya inferensial, suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna suatu tuturan yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu.
Brown menjelaskan : “Implikatur percakapan berarti apa yang diimplikasikan, disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur tidak terungkapkan secara literal dalam tuturannya”.
c)      Praanggapan
Jika suatu kalimat diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, ikut turut serta pula tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan praanggapan. Kalimat yang dituturkan dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya karena pengungkapannya yang salah melainkan juga karena praanggapannya yang salah.


d)     Tindak Ujaran
Menurut Austin mengucapkan sesuatu adalah melakukan sesuatu. Austin secara khusus mengemukakan bahwa tuturan-tuturan tidak semata-mata hendak mengkomunikasikan suatu informasi, melainkan meminta suatu tindakan atau perbuatan.
Contoh :
Bilamana seseorang mengatakan, misalnya: “Saya minta maaf”; “Saya berjanji”; artinya, permintaan maaf dilakukan pada saat orang itu minta maaf dan bukannya sebelumnya. Janji atau kedatangannya kelak harus dipenuhi, dan bukannya sekarang ini.
Dalam menganalisis tindak ujaran atau tuturan, dikaji tentang efek-efek tuturan terhadap tingkah laku pembicara dan lawan bicaranya. Austin membedakan adanya tiga jenis efek tindak tuturan, yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi mengacu pada makna literal, makna dasar, atau makna referensial yang terkandung dalam tuturan. Tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari suatu tuturan disebut tindak ilokusi. Dalam hal ini, tindak ilokusi berarti “to say is to do”. Tindak perlokusi mengacu pada efek atau pengaruh suatu tuturan terhadap pendengar atau lawan bicara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar