PRAGMATIK
Istilah pragmatik pertama kali muncul ketika seorang filosof
Charles Morris (1938) mencoba mengolah kembali pemikiran para filosof
pendahulunya (Locke dan Pierce), mengenai ilmu tanda atau semiotik (semiotics).
Dikatakan oleh Morris (melalui Nadar, 2009:2) bahwa semiotik memiliki tiga
cabang kajian, yaitu sintaksis (syntax), semantik (semantics),
dan pragmatik (pragmatics). Sintaksis adalah cabang semiotika yang
mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik adalah cabang semiotika
yang mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacunya, sedangkan pragmatik
adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa.
Berdasarkan trikotomi di atas, didapatkan pengertian
pragmatik sebagai berikut:
a) Pragmatik adalah kajian hubungan
antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasikan atau terkodifikasikan
dalam struktur bahasa (“Pragmatics is study of those relation between laanguage
and context that grammaticalized, or encoded in the structure of language”).
(Levinson, melalui Nadar, 2009:4)
b) Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat
dijelaskan dengan acuan secara langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat
yang dituturkan. (“Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning
of utterances which cannot be accounted for by straightforward reference ti the
truth conditions of the sentences uttered”). (searle, Kiefer &
Bierwich, melalui Nadar, 2009:5)
c) Pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis,
implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana. (“Pragmatics
is the study of deixis (at least in part), implicature, presuposisi speech act
and aspects of discourse structure). (Gazdar, melalui Nadar, 2009:5)
d) Pragmatik mengkaji makna yang
terikat konteks. (Wijana,1996:2)
Dari beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa
aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian pragmatik adalah bahasa
kaitannya dengan konteks.
Pragmatik adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari bagaimana bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama
hubungan antara kalimat dengan konteks dan situasi pemakaiannya. Konsep-konsep
dalam pragmatik di antaranya yaitu konteks. Konteks merupakan sesuatu
yang menjadi sarana untuk memperjelas suatu maksud tuturan dalam wacana. Dalam
konteks terdapat topik yang mendasari sebuah wacana. Dalam pragmatik terdapat beberapa analiasis di antaranya adalah analisis
tujuan cara yaitu analisis yang menggambarkan keadaan awal sebagai masalah. Terdapat pula analisis heuristik yaitu analisis
yang mengidentifikasi data pragmatik sebuah tuturan untuk menginterpretasikan
sebuah tuturan.
Dalam pragmatilk terdapat struktur wacana atau urutan komponen
wacana yang bermula dari yang paling kompleks ke yang kurang kompleks karena
variasi susunan unsur-unsur struktur wacana lebih besar dari pada struktur
kalimat. Dalam penerapan pragmatik terdapat
presuposisi atau praanggapan. Praanggapan adalah dasar yang
digunakan penutur sebagai acuan bagi penutur yang lain dan mengacu kepada makna tersirat yang ”mendahului“ makna
kalimat yang terucapkan (tertulis). Contohnya terdapat kalimat “Bukunya
hilang”. Makna lain yang bisa ditangkap, yaitu
‘dia mempunyai buku.’ Inilah yang disebut praanggapan. Untuk membuktikannya,
kita dapat menggabungkan keduanya dengan menempatkan praanggapan di depan
ujaran tadi menjadi: “Dia mempunyai buku, bukunya hilang”.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan telaah
penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan
konteks dan keadaan pembicaraan. Keterlibatan konteks dalam interpretasi
makna inilah yang membedakan semantik dengan pragmatik. Semantik mengkaji makna bebas
konteks, sedangkan pragmatik terikat konteks.
Ruang
Lingkup Pragmatik
Ruang Lingkup pragmatik sebagai bidang tersendiri dalam ilmu
bahasa adalah deiksis, implikatur percakapan, praanggapan, dan tindak ujaran.
Pokok kajian pragmatik tersebut akan diulas di bawah ini :
a)
Deiksis
Deiksis adalah
gejala semantik yang terdapat pada kata atau konstruksi yang hanya dapat
ditafsirkan acuannya dengan mempertimbangkan konteks pembicaraan. Dengan kata
lain adalah bahwa kata Kata saya, sini, sekarang, misalnya, tidak
memiliki acuan yang tetap melainkan bervariasi tergantung pada berbagai hal.
Acuan dari kata saya menjadi jelas setelah diketahui siapa yang
mengucapkan kata itu. Kata sini memiliki rujukan yang nyata setelah di
ketahui di mana kata itu di ucapkan. Demikian pula,
kata sekarang ketika diketahui pula kapan kata itu diujarkan.
Dengan demikian kata-kata di atas termasuk kata-kata yang deiktis. Berbeda
halnya dengan kata-kata seperti meja, kursi, mobil, dan komputer. Siapapun yang
mengatakan, di manapun, dan kapanpun, kata-kata tersebut memiliki acuan yang
jelas dan tetap.
Contoh, ketika
seorang siswa yang mendapati tulisan di sebuah bus jurusan Unesa, yang
bertuliskan hari ini bayar, besok gratis. Demikian pula di dalam sebuah
warung makan di sekitar tempat kos mahasiswa, dijumpai sticker yang
bertuliskan Hari ini bayar, besok boleh ngutang. Ungkapan-ungkapan di
atas memiliki arti hanya apabila diujarkan oleh sopir mikrolet di hadapan para
penumpangnya atau oleh pemilik warung makan di depan para pengunjung warung
makannya.
Deiksis dapat
di bagi menjadi lima kategori, yaitu deiksis orang (persona), waktu (time),
tempat (place), wacana (discourse), dan sosial (social)
(Levinson, dalam Nadar, 2009:53).
b)
Implikatur
Percakapan
Implikatur
percakapan merupakan salah satu ide yang sangat penting dalam pragmatik.
Implikatur percakapan pada dasarnya merupakan suatu teori yang sifatnya inferensial,
suatu teori tentang bagaimana orang menggunakan bahasa, keterkaitan makna suatu
tuturan yang tidak terungkapkan secara literal pada tuturan itu.
Brown
menjelaskan : “Implikatur percakapan berarti apa yang diimplikasikan,
disarankan, atau dimaksudkan oleh penutur tidak terungkapkan secara literal
dalam tuturannya”.
c)
Praanggapan
Jika suatu kalimat diucapkan, selain
dari makna yang dinyatakan dengan pengucapan kalimat itu, ikut turut serta pula
tambahan makna yang tidak dinyatakan tetapi tersiratkan dari pengucapan kalimat
itu. Pengertian inilah yang dimaksud dengan praanggapan. Kalimat yang
dituturkan dapat dinilai tidak relevan atau salah bukan hanya karena
pengungkapannya yang salah melainkan juga karena praanggapannya yang salah.
d)
Tindak
Ujaran
Menurut Austin mengucapkan sesuatu
adalah melakukan sesuatu. Austin secara khusus mengemukakan bahwa
tuturan-tuturan tidak semata-mata hendak mengkomunikasikan suatu informasi,
melainkan meminta suatu tindakan atau perbuatan.
Contoh :
Bilamana seseorang mengatakan,
misalnya: “Saya minta maaf”; “Saya berjanji”; artinya, permintaan maaf
dilakukan pada saat orang itu minta maaf dan bukannya sebelumnya. Janji atau
kedatangannya kelak harus dipenuhi, dan bukannya sekarang ini.
Dalam menganalisis tindak ujaran
atau tuturan, dikaji tentang efek-efek tuturan terhadap tingkah laku pembicara
dan lawan bicaranya. Austin membedakan adanya tiga jenis efek tindak tuturan,
yaitu: tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. Tindak lokusi
mengacu pada makna literal, makna dasar, atau makna referensial yang terkandung
dalam tuturan. Tindakan yang dilakukan sebagai akibat dari suatu tuturan
disebut tindak ilokusi. Dalam hal ini, tindak ilokusi berarti “to say is to
do”. Tindak perlokusi mengacu pada efek atau pengaruh suatu tuturan
terhadap pendengar atau lawan bicara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar